Kemiskinan di Indonesia dan Realitas kehidupan Bangsa

Beberapa pihak menyebut salah satu indikasi kekurangberhasilan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah masih tetap tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Namun, Presiden SBY justru mengklaim bahwa pemerintahannya telah sukses menurunkan angka kemiskinan.

Presiden menyebut, penurunan angka kemiskinan selama enam tahun masa pemerintahannya sudah 3,6 persen. Disebut, angka kemiskinan pada 2004 adalah 16,9 persen. Lalu, selama enam tahun pemerintahannya, angka itu disebutnya turun menjadi 13,3 persen. Menurut Presiden, penurunan tersebut, sudah lebih baik daripada capaian negara-negara lain. Presiden menambahkan, sebuah studi mengatakan bahwa sebuah negara bisa dikatakan baik jika mampu mengurangi angka kemiskinan hingga 0,3 persen setiap tahun.

Dalam lampiran Pidato Kenegaraan (16/8/2010) dipaparkan pula bahwa tingkat kemiskinan pada tahun 2010 menurun dibanding tahun 2009. Pada bulan Maret 2010, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan nasional), baik secara absolut maupun persentase mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan pada bulan Maret tahun 2009. Jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2009 sebanyak 32,53 juta menurun menjadi 31,02 juta pada bulan Maret 2010.

Dengan demikian, jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2010 menurun sebesar 1,51 juta dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2009, atau setara dengan penurunan tingkat kemiskinan sebesar 0,82 persen.

Selama periode Maret 2009 hingga Maret 2010, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,81 juta, yaitu dari 11,91 juta pada bulan Maret 2009 menjadi 11,10 juta pada bulan Maret 2010. Sementara itu, di daerah perdesaan berkurang 0,69 juta orang, yaitu dari 20,62 juta pada Maret 2009 menjadi 19,93 juta pada bulan Maret 2010. Meskipun demikian, proporsi jumlah penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah selama periode ini. Pada bulan Maret 2009, sebanyak 63,38 persen penduduk miskin berada di daerah perdesaan, sedangkan pada bulan Maret 2010 menjadi sebesar 64,23 persen.

Klaim pemerintah yang sedang berkuasa itu adalah wajar. Semua pemerintah Indonesia, dari sejak rezim Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati hingga SBY, selalu mengatakan telah berhasil menurunkan angka kemiskinan sebagai bukti tekad untuk mengakhiri kemiskinan yang membelenggu rakyat.

Tapi target mengakhiri (mengurangi) kemiskinan itu, selalu masih jauh dari harapan. Hingga hari ini, lebih 90 juta rakyat Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan, jika mengacu pada kriteria Bank Dunia, berpendapatan minimal USD 2 per kapita per hari.

Dan jika mengikuti standar yang digunakan pemerintah (BPS), jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan yakni Rp.211,726) di Indonesia pada Maret 2010 mencapai 31,02 juta (13,33 persen). Turun 1,51 juta dibandingkan dengan Maret 2009 sebesar 32,53 juta (14,15 persen).

Penurunan ini jauh lebih kecil daripada penurunan angka kemiskinan dari Maret 2008 ke Maret 2009. Sebagaimana dikemukakan Kepala BPS Rusman Herawa, pada Maret 2009 jumlah penduduk miskin mencapai 32,53 juta jiwa, sementara pada Maret 2008 mencapai 34,96 juta jiwa, turun 2,43 persen. Sedangkan penurunan angka kemiskinan dari Maret 2009 ke Maret 2010 hanya sebesar 0,82 persen.

Jika dilihat dalam realita, jumlah penduduk miskin Indonesia jauh dari angka yang dipublikasikan pemerintah (BPS) tersebut. Pertanyaannya, apakah realistis orang yang berpengeluaran Rp.7000 per hari untuk semua kebutuhannya, mulai dari makan dan segala kebutuhan lainnya, tidak lagi tergolong miskin.

Barangkali akan lebih realistis bila penentuan garis kemiskinan mengacu pada Bank Dunia yakni berpendapatan sebesar USD 2 per kapita per hari, ekivalen Rp. 552.000 per bulan (kurs Rp.9.200/USD 1). Jika mengacu pada Bank Dunia, maka jumlah orang miskin di Indonesia lebih 90 juta orang.

Maka, kini saatnya para elit (penguasa) pengambil kebijakan politik ekonomi Indonesia segera bertobat, supaya rakyat tidak makin miskin. Guru Besar IPB Prof Ali Khomsan dengan nada tanya mengatakan apakah pemerintah telah gagal dalam program penanggulangan kemiskinan? Bagaimana dampak program beras untuk rakyat miskin (raskin), Asuransi Kesehatan untuk Rakyat Miskin (Askeskin), sekolah gratis, kompor gas gratis yang selama ini dimaksudkan untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat miskin?

Menurut Prof Ali Khomsan, kehidupan yang kini dirasakan semakin sulit membuat rakyat miskin memimpikan kembali zaman normal ataupun zaman Orde Baru yang meski sama-sama sulit, saat itu harga pangan relatif terjangkau oleh daya beli mereka.

Semua rakyat kecil merasakan betapa harga berbagai barang, termasuk kebutuhan bahan pokok semakin membubung, terlebih setelah pemerintah menaikkan tarif dasar listrik, mulai 1 Juli 2010. Tentu saja, kondisi ini membuat beban rakyat yang sudah berat semakin berat.

Dengan tidak menafikan perlunya statistik naik turunnya angka kemiskinan, tetapi yang lebih merasakan apakah akibat dari kenaikan harga ini sangat luar biasa adalah rakyat miskin itu sendiri. Bagi mereka, logika dan realitasnya adalah jumlah warga miskin akan bertambah banyak karena harga-harga semakin tinggi dan tidak diimbangi kenaikan pendapatan. Akibatnya, semakin banyak warga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan.

Mungkinkah orang mampu memenuhi gizi jika hanya mampu makan sekali sehari tanpa lauk yang memadai? Mungkinkah seseorang memenuhi kebutuhan kesehatan hidup dan pendidikan anak-anaknya jika untuk membeli beras saja dia tidak mampu?

Hal ini pulalah menjadi lingkaran setan kemiskinan yang Indonesia tidak pernah keluar dari belenggunya. Semua orang tahu bahwa jalan yang bisa digunakan untuk memutus mata rantai lingkaran setan kemiskinan adalah kesempatan memperoleh pendidikan. Namun kemiskinan, telah membuat si miskin sulit untuk memperoleh pendidikan. Karena kebijakan pendidikan tidak memberi kesempatan luas kepada orang miskin.

Pelita Online, sebuah media penguatan masyarakat sipil menulis, beberapa program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan cenderung mengalami kegagalan karena pendekatan yang digunakan juga salah dan tidak menyentuh akar persoalan kemiskinan yang banyak dialami masyarakat (www.lkts.org/pelita-online/index.php).

Pertama, kebijakan yang tidak menyentuh pada akar persoalan kemiskinan masyarakat. Kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok yang membuat masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhanya dan semakin terpuruk pada kemiskinan disikapi dengan memberikan konversi dan pembagian beras dan lain sebagainya.

Kedua, sebagai persoalan multikompleks, seharusnya pendekatan yang digunakan juga tidak melulu pada satu aspek akan tetapi banyak aspek secara terpadu, konsisten, dan berkesinambungan harus dilakukan. Termasuk pelibatan warga miskin untuk mampu menemukan akar persoalan kemiskinan yang dihadapi, juga harus dilakukan.

Ketiga, konsep pengentasan kemiskinan yang berbeda pada (pemerintah, LSM, perguruan tinggi) membuat konsep ini tidak membekas pada warga miskin. Keempat, pengentasan warga miskin dijalankan sebagai proyek dengan target-target tertentu dan waktu yang tersedia terbatas. Pemikiran mengenai proyek membuat orang mudah terjebak, bahkan menjadi kesempatan menjarah uang Negara (korupsi). Makanya, miskin masih menjadi salah satu tanda Indonesia hari ini.BI/CRS-MS (Berita Indonesia 81)

Makin Dililit Utang
Indonesia masih terus terjebak dalam perangkap utang permanen. Gali lobang untuk menutup lobang. Utang untuk menutupi defisit anggaran serta membayar cicilan utang dan bunganya. Sehingga, Indonesia hari ini, makin dililit utang.

Belum Mandiri: Indonesia masih terus terjebak dalam perangkap utang permanen, gali lobang untuk menutup lobangJumlah nominal utang luar negeri terus membesar berlipat-lipat. Sebagian rakyat merasa tertipu ketika pada masa kampanye didengung-dengungkan bahwa pemerintah telah melunasi utang kepada IMF, titik! Seolah pemerintah tidak lagi gemar berutang. Padahal, kegemaran berutang ke luar negeri masih terus berlanjut, bahkan semakin besar.

Belakangan, pemerintah Indonesia mengakui belum bisa melepaskan diri dari utang sebagai sumber pembiayaan anggaran negara atau APBN. Tapi anehnya, pengakuan itu tidak diiringi dengan sikap dan kebijaksaan untuk mengurangi ketergantungan terhadap utang tersebut.

Terus apa jadinya? Tulis Chris Komari, seorang warga Indonesia yang kini bermukim di Amerika, dalam e-mailnya kepada Redaksi Berita Indonesia (21/11/2010). “Apakah pengakuan itu hanya sekadar minta belas kasihan dari rakyat? Mengaku tapi tidak mau berubah, ya apa artinya?
Chris Komari mempertanyakan kalau pendapatan negara cuma Rp 911.475. 000.000, kenapa pemerintah harus menghabiskan dana atau pembelanjaan sebesar Rp 1.009.485.000.000? Dalam bahasa sehari-harinya, kalau pendapatan hanya Rp 900.000, kenapa harus belanja sebanyak Rp 1.000.000. Ya jelas akan minus terus atau bahasa APBN-nya defisit terus. Apalagi kalau dana pendapatan itu termasuk utang. “It is pretty simple mathematic. Spend what you have, and not what you wish to have or what you wish to borrow or getting loans!” katanya.

Sudah utang, malah belanjanya lebih besar dari jumlah uang yang dimiliki termasuk uang utang? Itu namanya double deep alias boros. Menurut Chris, itulah wajah APBN Indonesia saat ini. Dia menilai pemerintah pusat terlalu boros dan terlalu rakus dalam mengembat dana rakyat yang ada dalam APBN.

Dia memperkirakan, selama 6 tahun terkahir, pemerintah pusat rata-rata menghabiskan dana APBN sebesar 70%, bahkan tahun 2008 sampai 77.88%. Sementara itu sisanya yang hanya 30% atau sampai 22.12% diturunkan ke daerah yang masih harus dibagi-bagi lagi ke 33 propinsi, 491 kota madya dan kabupaten, 5.263 kecamatan dan 69.919 desa.

“Kalau uang yang begitu kecil 22.12% dari sisa APBN yang mayoritas diembat oleh pemerintah pusat yang masih harus dibagi-bagi oleh sekian banyak pemerintah daerah, kira-kira berapa dana yang akan masuk desa, bila dana yang sudah sekecil itu harus disunat lagi di tingkat propinsi, tingkat kabupaten dan kotamadya dan di tingkat kecamatan?” Chris bernada tanya.

Menurutnya, sudah tahu begini, pemerintah pusat tidak tanggap dan tidak mampu melakukan reformasi untuk mengurangi ketergantungan pada hutang dan melakukan terobosan untuk menghilangkan defisit di APBN. Malah, katanya, pemerintah pusat terus ngutang dengan sudah menandatangani 20 jenis hutang baru.

Chris KomariPemerintah pusat bukannya mengurangi pemborosan, malah meningkatkan pemborosan dengan memperbesar jumlah menteri ditambah wakil menteri dan belum lagi munculnya komisi ini dan komisi itu, komite ini dan komite itu, lembaga ini dan lembaga itu yang semuanya budget driven.

Lalu, kata Chris, untuk mengibuli rakyat supaya hutang Indonesia itu tidak tampak besar dan berbahaya, pemerintah pusat membungkusnya dengan mengunakan hitungan rasio, bahwasanya hutang Indonesia masih manageable karena rasionya masih di bawah 30% dari total PDB (GNP).

Menurutnya, yang tidak dijelaskan oleh pemerintah pusat adalah fakta dan makna dari rasio itu sendiri, bahwa rasio terhadap PDB mengecil bukan berarti hutangnya juga ikut mengecil. “Secara nominal hutang Indonesia dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan dan tahun ke tahun semakin besar, sebesar gunung Hilmalaya dan seluas lautan Pacific,” jelasnya.

Dia menyarankan, semestinya pemerintah pusat perlu melakukan empat hal. Pertama, mengurangi total pengeluaran dalam APBN terutama pengeluaran atau pemborosan pemerintah pusat.
Kedua, Indonesia harus bisa membuat APBN tanpa harus ngutang. Do the math! Kalau punya pemasukan cuma Rp 900 milliar, ya jangan bikin APBN dengan pengeluaran Rp 1 trilliun?

Ketiga, pemerintah pusat harus memperbesar dana yang diturunkan ke daerah dari 22.12% menjadi paling tidak 40%. Mayoritas penduduk di Indonesia itu hidup di daerah-daerah, dan bukan di kantor pusat DKI Jakarta.

Keempat, APBN harus dibikin surplus dan paling tidak break even. Dana surplus itu harus disimpan sebagai cadangan devisa atau untuk bayar utang.

Sebab, menurut Chris Komari, kalau pemerintah pusat terus menerus boros sekali, APBN terus defisit, dan APBN harus terus dibiayai dengan dana utang, kapan rakyat Indonesia akan lepas dari cekikan utang dan bisa hidup makmur dan sejahtera dari subsidi pemerintah dan pembagian sumber daya alam yang merata?

Anehnya, kata Komari, sudah tahu begini masih juga dan belum ada indikasi dari pemerintah pusat (Executive, Legislative dan Judikative) untuk berani mengambil kebijaksaan yang bermutu dan melakukan dramatic reformation atau reformasi besar-besaran untuk mengatasi semua itu, agar pemborosan pemerintah pusat dikurangi. Kebijaksanaan yang ada malah sebaliknya, memperburuk suasana, memperbesar pemborosan dan ketergantungan sama utang. Maka, katanya, sempurnalah kebobrokan itu!

Sementara itu, Tim Indonesia Bangkit (TIB) yang ‘beroposisi’ dengan pemerintah mencatat utang Indonesia dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan sebesar 31 persen menjadi Rp 1.667 triliun. “Utang sebesar itu merupakan utang terbesar Indonesia sepanjang sejarah,” kata Ketua Tim Indonesia Bangkit, Rizal Ramli. Menurut Rizal, itu menempatkan Indonesia pada rekor utang terbesar sepanjang sejarah.

Rizal juga menjelaskan jumlah utang per kapita Indonesia pun meningkat. Jika pada 2004 utang per kapita Indonesia sekitar Rp 5,8 juta per kepala, maka pada Februari 2009 melonjak jadi Rp 7,7 juta per kepala. “Kan aneh, data TIB menunjukkan utang naik, kok berani-beraninya pemerintah bikin iklan utang turun,” katanya.

Total utang pemerintah pusat sampai Mei 2010 telah mencapai USD 175,31 miliar (ekuivalen Rp.1.609,31 triliun dengan nilai tukar Rp.9.180/USD.1). Bahkan berdasarkan perhitungan asumsi makro 2011, jumlah utang pemerintah ini diperkirakan akan mencapai Rp.1.878 triliun.

Rizal RamliJika dilihat dari posisi utang pemerintah (pinjaman luar negeri dan Surat Berharga Negara) yang dirilis Dirjen Pengelolaan Utang, Kemkeu RI, Edisi Juni 2010, telah terjadi kenaikan jumlah nominal utang pemerintah yang sangat tinggi dalam kurun waktu 2001-2010. Jika pada akhir tahun 2001 utang pemerintah pusat mencapai USD 122,42 miliar (Rp.1.273,18 triliun dengan kurs Rp.10.400/USD.1), meningkat USD 17.46 milar (Rp. 174, 6 triliun dengan kurs Rp.10.000/USD.1) pada akhir 2004 menjadi USD 139.88 miliar (Rp.1.299,50 triliun dengan kurs Rp.9.290/USD.1).

Kenaikan jumlah nominal utang pemerintah semakin tinggi terjadi dalam pemerintahan saat ini (2005-Mei 2010), menjadi USD 175.31 miliar (Rp. 1.609,31 triliun dengan kurs Rp.9.180/USD.1). Atau meningkat USD 35.43 miliar (Rp. 325.956 triliun dengan kurs Rp.9.200/USD.1). Bandingkan dengan utang luar negeri pemerintah Orde Baru (32 tahun) sebesar USD 53.865 (1997) dan akibat diterpa krisis naik sebesar USD 13.463 menjadi USD 67.328 (1998) yang berakibat secara politik dengan lengsernya Presiden Soeharto.

Pemerintah (Kementerian Keuangan) menjelaskan bahwa kenaikan jumlah nominal utang pemerintah yang sedemikian tinggi sejak 2005 yakni sebesar USD 35.43 miliar (Rp. 325.956 triliun dengan kurs Rp.9.200/USD.1), itu berasal dari: Pertama, ?akumulasi utang di masa lalu (legacy debts) yang memerlukan refinancing yang cukup besar; Kedua, dampak krisis ekonomi tahun 1997/1998 yang berakibat: a) Depresiasi Rupiah terhadap mata uang asing, b) BLBI dan Rekapitalisasi Perbankan, c) Sebagian setoran BPPN dari asset-recovery digunakan untuk APBN selain untuk melunasi utang/obligasi rekap; Ketiga, pembiayaan defisit APBN merupakan keputusan politik antara Pemerintah dan DPR-RI antara lain untuk: a) ?Menjaga stimulus fiskal melalui misalnya pembangunan infrastruktur, pertanian dan energi,dan proyek padat karya; b) Pengembangan peningkatan kesejahteraan masyarakat misalnya PNPM, BOS, Jamkesmas, Raskin, PKH, Subsidi; c) Mendukung pemulihan dunia usaha termasuk misalnya insentif pajak; d) Mempertahankan anggaran pendidikan 20%; e) Peningkatan anggaran Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista); dan f) Melanjutkan reformasi birokrasi.

Penjelasan ini menegaskan bahwa pemerintah memang mengandalkan utang, selain untuk membayar cicilan utang masa lalu dan bunganya yang jatuh tempo, juga menjaga stimulus fiskal, membiayai PNPM, BOS, Jamkesmas, Raskin, PKH dan subsidi, juga membiayai insentif pajak dan reformasi birokrasi (remunerasi). Salah satu contoh, reformasi birokrasi yang dibiayai dengan utang luar negeri adalah pemberian remunerasi (dana tunjangan khusus) pegawai Kementerian Keuangan.

Selain itu, pemerintah terus melanjutkan ketagihan berutang ke luar negeri, pada era pemerintahan saat ini, kendati dengan bunga yang lebih tinggi (komersial). Sebab akses terhadap pinjaman luar negeri dengan persyaratan sangat lunak dari lembaga keuangan multilateral bagi Indonesia sudah dibatasi. Pembatasan ini disebabkan status Indonesia yang tidak lagi digolongkan sebagai low income country, di samping adanya batas maksimum pinjaman yang dapat disalurkan ke suatu negara (country limit). Dililit utang, itulah Indonesia sampai hari ini. BI/TSL-MS (Berita Indonesia 81)

Treadmill Penegakan Hukum
Kemajuan pesat demokrasi belum berjalan seiring dengan kemajuan penegakan hukum. Kendati para pemangku kekuasaan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) termasuk para pakar hukum, terlihat sangat riuh dan sibuk berbicara tentang penegakan hukum, ternyata belum ada capain kemajuan yang signifikan. Masih berlari di tempat, capek ngos-ngosan dan berkeringat, tapi masih tetap di tempat. Ibarat berlari di atas ban treadmill.

DIRAGUKAN: Satgas Pemberantasan Mafia Hukum menghadap Presiden Susilo Bambang YudhoyonoPenilaian ini merupakan rangkuman dari empat orang pakar dan praktisi hukum ternama di negeri ini yang dihubungi Berita Indonesia dan TokohIndonesia.com secara terpisah belum lama ini. Mereka adalah Prof. Dr. Adnan Buyung Nasution, SH, advokat senior; Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, LLM, pakar hukum pidana internasional; Prof Dr. Komariah Emong Sapardjaja, Hakim Agung; dan Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H., FCBArb., ACIArb, advokat senior.

Menurut Prof. Dr. Adnan Buyung Nasution, pembangunan hukum di Indonesia selama ini cukup memprihatinkan. Pakar sekaligus praktisi hukum (advokat) kawakan, mantan jaksa dan pendiri LBHI, ini mengatakan sejauh ini penegakan hukum di Indonesia masih jalan di tempat. Capek, ngos-ngosan tapi masih di tempat yang sama. “Kita lari di tempat, tidak maju-maju, ngos-ngosan, tapi nggak berhasil. Karena kita belum dapat pemimpin yang tepat, yang visioner dan mempunyai keberanian,” kata mantan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (2004-2009) itu.

Advokat yang oleh TokohIndonesia.com menyebutnya sebagai Lokomotif Demokrasi, itu mengatakan, demokrasi dan hukum itu tidak bisa dipilah (dipisah). Keduanya ibarat dua sisi mata uang, di satu sisi demokrasi, di sisi lain hukum. “Sebab, demokrasi tanpa hukum dia akan jadi anarki. Orang semaunya. Tapi sebaliknya, hukum saja tanpa demokrasi akan menjadi alat penindas yang berkuasa, hukum tidak berpihak pada rakyat. Makanya perlu hukum yang demokratis. Itulah yang saya pakai istilah demokrasi konstitusional.

Pendapat senada dikemukakan Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, LLM, seorang pakar hukum pidana internasional, Guru Besar dan Koordinator Program Doktor Universitas Padjajaran, mantan Kepala Badan Pembaruan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM (2002-2004), Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Departemen Kehakiman dan HAM (2000-2002) dan Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan, Departemen Hukum dan Perundang-Undangan (1998-2000). Dia berperan banyak meletakkan dasar-dasar (undang-undang) yang menentukan arah reformasi di Indonesia.

Prof. Dr. Romli Atmasasmita mengibaratkan upaya penegakan hukum dan kepastian hukum di negeri ini seperti orang berlari sampai capek, bercucuran keringat, di atas ban treadmill. (Treadmill adalah mesin dengan ban berjalan yang dapat diatur kecepatan putarnya. Di atasnya seseorang dapat berjalan atau berlari mengikuti kecepatan ban, tetapi tetap tidak bergerak maju dari tempat). Terlihat sibuk dan capek tetapi tetap berlari di tempat. Menurutnya, selama dua belas tahun reformasi belum ada kemajuan signifikan dalam upaya penegakan hukum dan penghormatan terhadap hukum.

Padahal, menurut Romli, sejak awal era reformasi telah dilakukan peletakan dasar reformasi pembangunan hukum melalui penyusunan undang-undang (legislasi) yang meliputi empat bidang, yaitu hukum di bidang ekonomi, keuangan, dan perbankan; hukum di bidang politik; hukum di bidang sosial; serta hukum di bidang hak asasi manusia. Seluruh perundang-undangan dalam keempat bidang hukum tersebut telah diselesaikan dalam kurun waktu empat tahun pertama, disusul dengan beberapa perubahan atas perundang-undangan tersebut, yang telah terjadi dalam kurun waktu dua tahun selanjutnya sampai 2004. Juga diikuti pembentukan lembaga baru, seperti KPK dan Komisi Yudisial serta penguatan lembaga peradilan yang sudah ada.

Namun, keluh Prof. Romli, sebaik apa pun penyusunan UU atau legislasi itu, sepanjang dilakukan manusia yang tidak teguh pada prinsip hukum, tetap saja hilang kesempurnaan dan nilai kemanusiaannya ketika dijalankan dalam praktik. Selain itu, katanya, kendala serius yang menghadang kebijakan legislasi tersebut juga terletak pada faktor-faktor nonhukum dan pola penegakan hukum yang belum secara maksimal dapat menimbulkan harmonisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ilustrasi/soniDia mengatakan kultur bangsa Indonesia tidaklah sama dengan bangsa-bangsa lain di dunia, karena masalah harmonisasi kehidupan dan hubungan interpersonal ternyata masih menentukan keberhasilan suatu perencanaan dan program dalam mencapai tujuannya. “Hal ini sudah tentu di luar jangkauan persepsi dan pemikiran para pembentuk undang-undang dan para ahli teori hukum yang tak pernah menyelami realitas hukum dalam kehidupan sehari-hari,” kata Romli Atmasasmita.

Ternyata, katanya, hukum dalam realitas hanya ada dalam genggaman kekuasaan manusia sehingga karakter hukum bisa berubah-ubah, bergantung pada karakter manusia yang menggenggam dan menjalankannya. “Janganlah mencari cita dan idealisme hukum di dalam kenyataan karena langkah seperti itu akan sia-sia belaka dan berujung kekecewaan karena cita hukum dan idealisme hukum yang terdapat dalam textbook layaknya garis pinggir di lapangan sepak bola; wasit yang menentukan tertib-tidaknya permainan,” jelas Prof. Romli.

“Cita hukum, kepastian hukum, dan keadilan hanya ilusi dan mimpi indah para akademisi,” kata Guru Besar Hukum Pidana Internasional itu. Menurutnya, hukum dalam realitas Indonesia kira-kira cocok dengan kata-kata Hobbes, “Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Mereka saling membinasakan.” (homo homini lupus, bellum omnium contra omnes). “Dalam masyarakat modern, kata-kata Hobbes ini dipraktikkan melalui hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuannya. Hukum dalam realitas sangat jauh dari cita kepastian hukum dan keadilan, katanya.

“Pembangunan hukum bukan hanya melahirkan undang-undang (ITU) sebanyak-banyaknya (kuantitas), tetapi juga seharusnya memasukkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab di dalam Pancasila sehingga untuk itu diperlukan manusia pemegang amanah penegakan hukum yang berkarakter dan bermoral Pancasila. Pembangunan hukum adalah pembangunan nilai-nilai kepastian hukum dan keadilan serta nilai kemanfaatannya bagi kehidupan manusia. Pembangunan hukum dan penegakannya bukan sekadar mencapai target memasukkan sebanyak-banyaknya penjahat ke dalam bui, melainkan juga harus dipertimbangkan dan dikritisi bagaimana penjahat-penjahat ini diperlakukan berdasarkan hukum yang berlaku sampai memperoleh putusan pengadilan yang tetap,” jelas Prof. Romli Atmasasmita.

Sementara, Prof Dr. Komariah Emong Sapardjaja, guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung yang kini menjabat Hakim Agung, juga berpendapat, ruwetnya permasalahan hukum sekarang ini sebetulnya bukan karena hukumnya tapi karena penegakannya, dan karena para penegak hukumnya juga. “Yang saya lihat, para penegak hukum itu tidak memegang teguh kode etik dan kode profesinya masing-masing. Mereka juga lupa pada sumpah jabatan ketika dilantik,” katanya.

Lalu kedua, papar Prof Dr. Komariah, tidak ada pengawasan sehingga berbagai kasus itu ditemukan setelah semuanya menjadi ruwet. Sehingga mengurainya juga jadi sulit. Namun, Komariah melihat sebenarnya masih banyak penegak hukum yang jujur. Dia pun melihat untuk mendapatkan para penegak hukum yang jujur itu harus dimulai melalui sistem rekrutmen yang baik, mulai dari rekrutmennya yang harus bersih.

Dalam kaitan ini, Adnan Buyung mengatakan meski perundang-undangan sudah lebih baik dibandingkan dengan masa lalu, tapi hukum tertulis yang sarat dengan etika dan moralitas masih sering tak konsisten dijalankan. Maka, Buyung menegaskan pentingnya karakter yang bersumber dari hati nurani untuk penegakan hukum di negeri ini.

Prof. Dr. Adnan Buyung NasutionMenurut Adnan Buyung, secerdas atau sehebat apa pun seseorang jika tanpa hati nurani bisa buta, bahkan menjadi kejahatan bagi manusia lainnya. Makanya, kata Buyung, kejujuran dan kebebasan hati nurani harus terus dijaga. Dia mengingatkan, substansi hukum adalah keadilan yang mengedepankan etika. “Tetapi, saya harus mengakui, kondisinya kini makin menurun,” kata mantan Ketua Tim 8 Kasus Bibit-Chandra itu.

Adnan Buyung mengingatkan, konstitusi di negeri ini tak ada maknanya jika warganya tak bisa menghayati maknanya dan melaksanakan. Makna konstitusi itu adalah jaminan pada hak asasi manusia.

Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H., FCBArb., ACIArb, seorang pakar dan praktisi hukum (advokat) ternama, aktivis HAM dan pengajar di beberapa universitas, di antaranya di Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Tangerang, dan Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, Jakarta, jua memandang persoalan hukum di Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, LLMIndonesia cukup pelik. Maka, ujarnya, untuk memperbaikinya harus dilakukan perombakan, baik undang-undangnya maupun praktisinya.

Frans menguraikan, hukum kita asalnya dari hukum kolonial Belanda. “Sampai sekarang kita tidak punya keberanian untuk merubahnya, baru KUHP saja. Sebenarnya KUHPerdata dan KUHPidana juga harus diubah. Sudah umur ratusan tahun, sudah tidak layak pakai lagi. Kita harus berani menerobos itu,” katanya. Kemudian, menurut Frans, lembaga-lembaga penegak hukum yang korup seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman itu harus dirombak. “Profesi hukum seperti advokat itu juga harus dirombak, sudah terlibat dalam mafia peradilan namanya, judicial corruption itu,” kata Pendiri dan Ketua Umum Dewan Pengurus Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia (YPHI) itu.

Salahnya, menurut Frans, kita mendahului pembangunan ekonomi, Dr. Frans Hendra Winarta, SH, MHlalu sekarang baru terpikir pembangunan hukum. “Lain dengan Singapura, setelah memerdekakan diri dari Malaysia, sepuluh tahun pertama, mereka mulai membangun hukum, sehingga hukumnya beres. Lalu, ketika mereka membangun ekonomi, industri, 10 tahun lagi, itu sudah bisa jalan karena pengadilannya sudah jujur, lembaga hukumnya kuat,” jelas Frans memberi bandingan.

Sementara, lanjutnya, kita terbalik, ekonominya maju tapi hukumnya hancur, maka kemudian ikut hancur ekonominya juga. “Jadi ada kesalahan strategi kita dalam pembangunan hukum. Harusnya, dengan pembenahan hukum dulu baru ekonomi,” kata mantan Anggota Dewan Penasehat LawAsia di Perth, 1992-1995 itu.

Frans menegaskan kita tidak akan bisa menegakkan hukum kalau empat pilar penegak hukum, yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan keadvokatan tidak dibersihkan dari perilaku korup. “Kemudian, ada kepemimpinan, etos kerja, etika yang baik dan ada kejujuran. Di situ, barulah kita bisa menuju Indonesia adil dan makmur. Tanpa itu saya kira nonsense,” kata Frans.

Sementara, menurut Prof. Romli Atmasasmita, kegagalan kita selama 60-an tahun merdeka dalam pembangunan hukum dan penegakan hukum adalah karena sering dilupakannya karakter dan moral para pemegang amanah penegakan hukum. Sesungguhnya, menurut Romli, semakin banyak perkara yang masuk dan diputus pengadilan serta semakin banyak manusia yang dimasukkan ke bui, itu suatu pertanda bahwa pembangunan hukum dan penegakan hukum itu telah mengalami kegagalan, bukan harus dinilai dan ditafsirkan sebagai sukses.

“Sukses dalam pembangunan dan penegakan hukum adalah jika perkembangan kejahatan semakin menurun dan mereka yang dibui semakin berkurang sehingga merupakan bukti bahwa kehidupan masyarakat telah tertib dan aman,” kata Romli.

Pemimpin Visioner dan Berani
Menurut Adnan Buyung Nasution dan Frans Hendra Winarta, kegagalan pembangunan hukum terutama karena belum munculnya pemimpin yang visioner dan berani. Adnan Buyung merasa kecewa dengan para pemimpin negeri ini, tidak hanya pemimpin Orde Baru, tetapi juga pemimpin era reformasi ini. Adnan Buyung menilai mereka tidak punya visi dan tidak punya keberanian menegakkan hukum, terutama dalam pemberantasan korupsi.

Adnan Buyung mengungkapkan bahwa dia pernah berbicara (mengusulkan) dengan Presiden Megawati Soekarnoputri tentang bagaimana penegakan hukum dan pemberantasan korupsi seharusnya dilakukan. ‘Tapi, Ibu Mega nggak begitu responsif. Dua jam saya bicara sampai berbusa-busa dia mendengarkan dengan sangat serius tapi pada akhirnya dia bilang, “Bang, terus bagaimana? Sudah terlanjur begini, kita harus tunggu beberapa generasi lagi,” ungkap Bang Buyung.

Menurut Buyung, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun begitu, butuh 20-30 tahun. Sebagai pribadi dan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, dia sering bicara dengan SBY. “Saya kecewa berat karena tidak boleh menunggu, kita harus mulai dari sekarang mulai. Apapun yang bisa kita lakukan dari sekarang, kita lakukan, “ kata Buyung.

Adnan Buyung melihat, kalau mau kita kembali ke negara hukum, musuh nomor satu adalah bagaimana memberantas korupsi. Tapi, keluhnya, sampai hari ini tidak ada planningnya. “KPK pun nggak punya planning jangka panjang. Sama seperti Komisi Yudisial, juga terlalu cepat mengambil tindakan yang sifatnya memang katakanlah signifikan, semacam shock therapy. Memang mendapatkan applause masyarakat, tapi tidak berjangka panjang,” jelas Buyung.

Penawaran umum perdana saham PT. Krakatau Steel dinilai menguntungkan kelompok tertentuPadahal, menurut Buyung, yang diperlukan sekarang pemikiran yang mendalam bagaimana membuat perencanaan yang panjang. “Langkah demi langkah, sehingga kalau pun kita masih begini, anak cucu kita sudah tertib hukum. Ini pemikiran yang visioner,” ujarnya.

Adnan Buyung memberi contoh tentang pengisian jabatan Jaksa Agung. “Mesti dilandasi betul-betul dengan niat yang bersih, keberanian dan kejujuran pada nurani. Pertaruhannya nyawa. Kalau sekarang, siapapun yang berani memegang jabatan Jakgung, mesti berani mempertaruhkan nyawanya. Sebab musuh kita terlalu besar dari segala lapisan. Korupsi sudah melanda bangsa ini di seluruh lapisan dan bukan hanya korupsi uang, tapi juga mental korup, ya susah. Jadi yang dipikirkan, gimana semua proyek, semua lobang bisa cari uang. Berpikirnya sudah korup.

Berpikirnya, cara apa yang bisa cari uang. Urusan negara yang harusnya diurus dengan baik, oleh pejabat-pejabatnya dia proyekkan. Ada lagi yang berbuat seolah dia menolong negara dengan pengadaan suatu alat yang katanya supaya kerja instansinya efisien, tapi ada udang di balik batu,” kata Adnan Buyung Nasution.

Pendapat senada dikemukakan Frans Hendra Winarta. “Saya pikir itu mengenai leadership, karena memang tidak disiapkan. Kita kan baru berkembang, stok pemimpin terbatas. Karena tidak dipersiapkan, begitulah akhirnya. Kita melihat azas bukan sesuatu yang mesti diperjuangkan. Azas itu dilihat menguntungkan apa tidak? Jadi terbalik, bukan azas diperjuangkan tapi asas untuk menguntungkan. Jadi, dia tergantung pendapat dari luar. Dilihat dulu, sebagian besar setuju apa tidak? Karena tidak ada pendirian,” kata Frans.

Frans tidak hanya bicara penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi, tetapi juga dalam penegakan HAM. Perihal penegakan HAM, Frans mengatakan jangan harap generasi ini. “Cucu-cucu kita mungkin baru ada yang mau bongkar, kalau sekarang jangan harap. SBY tidak akan berani mengambil resiko langsung berhadapan dengan jenderal-jenderal,” katanya.

Menurut Frans, soal HAM dan pemberantasan korupsi tidak akan beres kalau penegakan hukumnya tidak beres. “Penjara adalah ujung dari penegakan hukum. Orang dimasukkan di situ untuk dibina supaya jera dan lebih baik. Gimana mau baik, yang membinanya nggak baik?” ujar Frans Hendra Winarta.

Hiruk-Pikuk
Selama 12 tahun era reformasi, hiruk-pikuk penegakan hukum, khususnya dalam rangka pemberantasan korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), begitu riuh. Sebagai contoh, mulai dari hiruk-pikuk tuntutan korupsi mantan Presiden Soeharto, kasus BLBI yang melibatkan beberapa konglomerat, perkara technical asisstance contract (TAC) antara Pertamina dan PT Ustraindo Petro Gas yang diduga melibatkan Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita, suap jaksa Urip, kasus teknologi informasi KPU yang mulai disidik KPK, lalu ada kriminalisasi pimpinan KPK, kasus bail out Bank Century, rekening gemuk Polri, kasus mafia pajak (Gayus) dan lain-lain sampai yang terakhir kasus IPO Krakatau Steel.

Begitu hiruk-pikuknya berbagai kasus itu, tapi hasilnya hanya keriuhan, capek dan hanya berlari di tempat. Para konglomerat pengemplang BLBI disambut karpet merah di istana. Ayin difasilitasi kamar sekelas hotel mewah. Pansus DPR skandal Bank Century yang sedemikian gegap-gempita menggelar investigasi dan rapat-rapat terbuka hingga mengambil keputusan secara voting dalam rapat paripurna, terindikasi korupsi; Tapi, KPK, Kejaksaan dan Polri, sampai hari ini belum menemukan bukti korupsi.

Kemudian, Satgas Mafia Hukum begitu sibuk memberi keterangan pers tentang kasus mafia hukum dan mafia pajak, yang semula diungkap oleh Susno, ternyata hanya sampai menjangkau Gayus Tambunan; Bahkan Susno yang dijebloskan. Pegawai rendahan Ditjen Pajak, Gayus pun difasilitasi keluar-masuk tahanan bahkan pelesiran ke Bali dan berani nonton tennis. Kehiruk-pikukan paling akhir, kasus penjualan murah saham BUMN strategis PT. Krakatau Steel, ternyata hanya sekadar hiruk-pikuk. Dan sebagainya, banyak lagi! Semuanya, berjalan di tempat.

Kisah tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga laksana berlari di atas kanvas treadmill. Awal reformasi begitu bersermangat, gegap-gempita menyerukan berantas korupsi. Semua undang-undang dilengkapi, KPK pun dibentuk dengan proses yang sedemikian bersemangat. Pembentukan KPK sebagai lembaga ad hoc diperlukan karena institusi kepolisian dan kejaksaan dinilai tak berdaya memberantas korupsi.

Pimpinan KPK pertama pun menggelar berbagai konferensi pers, beberapa kasus korupsi dibongkar dan sekaligus rajin bertemu dengan Presiden. Karena dinilai dekat dengan pusat kekuasaan, mereka pun dinilai tebang pilih. Lalu, pimpinan KPK periode kedua pun menggantikan. Sama dengan pimpinan KPK pertama, juga rajin menggelar konferensi pers, bedanya, mereka tidak rajin bertemu dengan Presiden. Entah ada hubungannya atau tidak, terjadi kriminalisasi KPK. Ketua KPK Antasari didakwa sebagai otak pembunuhan, Bibit-Chandra dituduh memeras. Kasus Bibit-Chandra pun berlarut-larut. Akibatnya, KPK tersandera. Hingga, hari ini, KPK nyaris tiada beda lagi dari institusi kepolisian dan kejaksaan. Langkah pemberantasan korupsi kembali ke titik semula. Ya, lari di tempat! Maka, tak heran bila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih mempercayakan penanganan kasus mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan oleh Kepolisian, tidak perlu ke KPK. Sebab, apakah kasus itu ditangani KPK atau kepolisian dan kejaksaan, sama saja! BI/CRS-MLP (Berita Indonesia 81)

Korupsi Makin Kreatif

Hari ini, Indonesia terkorup di Asia-Pasifik. Tingkat kreativitas korupsi pun kian canggih. Hari ini, Indonesia seperti menabur angin (reformasi) dan menuai badai (korupsi).

Penyelesaian skandal Bank Century mulai tenggelamHasil survei terakhir Political & Economic Risk Consultancy (PERC), menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi. Dalam survei tersebut, dipublikasi Maret 2010, indeks korupsi Indonesia mencapai 9,07 dari skala 10. Justru meningkat dari survei tahun 2009 lalu,yakni pada angka 8,32.

Indonesia lebih korup dari (urutan peringkat berikutnya) Kamboja, Vietnam, Filipina, Thailand, India, China, Taiwan, Korea Selatan, Makau, Malaysia, Jepang, Amerika Serikat, Hong Kong, dan Australia. PERC adalah sebuah badan riset independen dan penasihat konsultan terkemuka yang memberikan layanan kepada investor dan berbasis di Hong Kong.

Ini suatu peringkat pahit. Setelah Indonesia melakukan reformasi, ternyata hasilnya makin terkorup. Ketika Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menulis kolom di sebuah Koran ibukota (Sindo 02/05/2008) dengan judul: Menabur Reformasi, Menuai Korupsi? banyak orang memandangnya terlalu pesimistis.

Sebab kala itu, pemerintah begitu kreatif mengembar-gembor keberhasilan memberantas korupsi. Bahkan hingga kampanye Pemilu 2009, pemerintah masih dengan kreatif menjelaskan (mengampanyekan) keberhasilan pemberantasan korupsi. Publik pun masih terkesima dengan tebaran pesona keberhasilan tersebut.

Tetapi setelah disimak lebih dalam, ternyata gerakan reformasi pemberantasan korupsi telah gagal. Persis seperti sudah diungkap oleh Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, dua setengah tahun lalu, ketika banyak orang masih terkesima pada bungkusan (kemasan) kampanye keberhasilan pemberantasan korupsi. Kala itu, Komaruddin menuliskan, mengamati secara sepintas fenomena korupsi dalam era Reformasi dan pra-Reformasi tampaknya bagi kita sama saja.

Menurut Komaruddin, reformasi belum mampu melahirkan etos pelayanan publik yang bersih dan gerakan antikorupsi secara masif. “Bahkan ada tendensi bahwa di masa Reformasi korupsi justru kian ganas bagaikan virus yang menggerogoti tubuh. Kalau bagian tubuh yang diserang virus itu hanya permukaan kulit,mungkin tidak terlalu masalah karena kita hanya membutuhkan salep untuk mengobatinya,” paparnya.

Namun ternyata, ungkap Komaruddin, hati dan jantung pun tidak luput dari serangan virus yang berbahaya itu. ”Lembaga-lembaga terhormat di negeri ini yang merupakan hati dan jantung bangsa telah pula digerogoti virus korupsi. Secara teoritis, penanggulangan korupsi yang sudah menyerang hati dan jantung hanya bisa dilakukan dengan cara transplantasi. Namun dalam praktik hal itu tidak mudah,” keluhnya.

Ketua KPK Busyro MuqoddasKala itu, Komaruddin menggelisahkan bahwa kita harus menunggu periode pergantian komposisi lembaga-lembaga pemerintahan dan parlemen lima tahunan secara demokratis melalui pemilu. Komaruddin mengeluhkan hal ini sebelum Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009. Padahal, kata Komaruddin, masa lima tahun sudah cukup untuk membuat virus-virus berkembang biak. “Lebih gawat lagi jika virus itu sudah bercokol di urat nadi sistem birokrasi kita. Sebab, selain tidak mudah untuk memberantasnya, siapa saja yang masuk atau berada dalam sistem itu juga dapat terkena serangan,” jelasnya.

Keluhan Komaruddin itu, senada dengan pernyataan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas di gedung DPR, Jakarta, Selasa (23/11) malam, sehari sebelum dia terpilih menjadi Ketua KPK. Dia menilai praktek korupsi di Indonesia sudah mengalami kreativitas yang canggih. Karena itu dibutuhkan adanya komitmen Komaruddin Hidayatberdasarkan common value dalam pemberantasan korupsi.

“Akibat kreativitas korupsi yang semakin canggih itu maka bisa jadi pola perlawanan yang sebelumnya digunakan tidak lagi sesuai. Jadi perlu mengusung ideologi gerakan perlawanan korupsi yang lebih smart,” kata Busyro.

Menurut Busyro, upaya pemberantasan korupsi kini mempunyai tantangan yang semakin besar. “Alasannya, korupsi dilakukan secara sistemik dan menggurita. Karena itu, “siapa pun yang masuk di KPK perlu memperbarui komitmen berdasarkan common value di semua jajaran,” tegasnya.

Pernyataan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dan Busyro Muqoddas di atas memudahkan dan mengingatkan publik untuk lebih jeli mengamati peningkatan kreativitas korupsi di negeri ini. Seperti keputusan DPR dan hasil audit BPK yang mengindikasikan korupsi semakin canggih dan tamak dalam kasus bail out Bank Century.

Dugaan korupsi yang kian kreatif dan canggih terjadi pada initial public offering (IPO) PT Krakatau Steel, dengan penawaran saham yang terlalu murah, hanya Rp.850 per saham. Diduga terjadi insider trading demi kepentingan partai tertentu. Berbagai pihak memprotes, tetapi pemerintah (Kementerian BUMN) tetap bersikukuh dan telah mencatatkan saham PT KS di Bursa Efek Indonesia pada 10 November 2010.

Hendri Saparini, Ekonom dan Pendukung Citizen Lawsuit Penjualan Saham PT Krakatau Steel mengatakan pelaksanaan initial public offering tersebut menyisakan banyak tanda tanya. Kecurigaan terhadap adanya perdagangan yang melibatkan orang dalam (insider trading), misalnya, belum diinvestigasi maksimal. Masalah penetapan harga saham PT KS pada batas bawah penawaran Rp 850 juga belum diselidiki sungguh-sungguh. Terbukti, pada hari pertama terjadi kenaikan harga saham mendekati 50 persen, bahkan pada hari kedua masih naik lagi hingga Rp 1.340 pada harga penutupan.

Pendapat senada dikemukakan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Unika Atma Jaya A Prasetyantoko. Prasetyantoko mengungkapkan, salah satu fakta penting yang harus diusut adalah pelepasan saham oleh investor asing pada hari kedua penjualan, yang mengindikasikan bahwa yang membeli saham adalah investor jangka pendek yang mengambil keuntungan dari selisih harga saham di pasar perdana dengan pasar sekunder.

Begitu kreatif dan canggihnya! Maka, sangat menyedihkan, Indonesia hari ini masih terkorup di Asia Pasifik. Hari ini, Indonesia seperti menabur angin (reformasi) dan menuai badai korupsi).BI/CRS-MS (Berita Indonesia 81)

Komentar

Postingan Populer