HAK MILIK DAN KETIMPANGAN SOSIAL Telaah Sejarah dan Kerasulan
di posting dari ;http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/HakMilik4.html
Oleh Masdar F. Mas'udi
Memang harus tetap diakui, pendekatan pasivisme keagamaan ini
bukan tidak punya keprihatinan atas kemiskinan sebagai derita
kehidupan. Akan tetapi, sekali lagi karena bagi mereka
kemiskinan terjadi karena takdir Tuhan, dan oleh sebab itu
harus diterima dengan segala kepasipan, maka apa yang mereka
lakukan terhadap persoalan itu cukup sederhana: Beri
orang-orang miskin santunan; berupa makanan, pakaian, uang
atau lainnya. Suatu treatment yang benar-benar bersifat
formalistis dan karitatif; semata-mata menuruti perintah
ajaran untuk meringankan beban orang miskin. Tidak pernah jadi
pemikiran mereka, apakah dengan santunan itu si miskin bisa
mengentaskan diri dari derita kemiskinannya. Bagi mereka,
itulah urusan Tuhan: Jika dikehendaki, seketika ia bisa kaya
raya. Tapi jika tidak, usaha apa pun yang dilakukan manusia,
kemiskinan tetap menimpanya.
Menyusul pendekatan pasivisme-religious adalah pendekatan
sekularisme-kapitalis. Apabila pendekatan pertama mengatakan
kemiskinan merupakan urusan Tuhan, pendekatan kedua
mengatakan, seperti halnya persoalan hidup lainnya, kemiskinan
pun merupakan persoalan manusia. Kalau mau dan tahu jalannya,
manusia bisa mengatasinya, dengan kekuatan sendiri. Tuhan
tidak punya urusan dengan soal-soal seperti ini. Hanya, yang
menjadi persoalan mereka, apakah memang perlu kemiskinan itu
diatasi? Bertolak dari pendirian segala sesuatu kemiliki
kegunaan (fungsi)-nya sendiri bagi tertib kehidupan,
pendekatan kedua berpendapat, kemiskinan tidak boleh
ditiadakan. Membiarkan kemiskinan yang 'keterlaluan' memang
tidak bijaksana, akan tetapi melenyapkannya juga bisa
berbahaya. Oleh sebab itu yang penting bukan mengatasi
kemiskinan, melainkan mengendalikannya agar tidak sampai
merusak tatanan. [9]
Mengemban bias kalangan kaya, penganut paham ini memandang
kemiskinan sepenuhnya terjadi atas kesalahan atau kekurangan
yang ada pada diri orang-orang miskin itu sendiri. Yaitu,
karena mereka tidak memiliki sifat-sifat pribadi yang lazim
dimiliki oleh teman-temannya yang kaya. Misalnya: keuletan
mencari duit, gemar menabung, jeli melihat kesempatan usaha,
keterampilan berwiraswasta, dan sebagainya. Oleh sebab itu,
satu-satunya jalan untuk memperbaiki nasib si miskin, jika
dianggap perlu, adalah pendidikan sebagai upaya pengembangan
sumberdaya untuk menanamkan sifat-sifat tersebut pada diri
pribadi orang-orang miskin. Kemiskinan adalah suatu fenomena
yang berskala perorangan, dan karena itu harus didekati juga
dalam skala perorangan. Realitas sosio-struktural, di mana
orang-orang kaya dan kalangan mapan lainnya menyandarkan
kepentingannya, tidak ada sangkut paut apa pun dengan masalah
kemiskinan.
Sementara itu mempersiapkan orang miskin menjadi berpotensi
kaya -dengan strategi pendidikan- memerlukan modal yang tidak
sedikit. Untuk pendidikan perlu banyak sarana dan prasarana
yang tidak murah. Sesudah pendidikan modal usaha juga harus
disediakan. Artinya, bahwa program memecahkan kemiskinan, pada
ujungnya bukan sesuatu yang bisa dilakukan oleh masyarakat
miskin itu sendiri, tapi oleh orang-orang kaya juga. Dengan
demikian, usaha mengatasi kemiskinan, menurut teori ini, akan
selalu ditunggangi oleh kepentingan pihak kaya dalam
mempertahankan kekayaannya di satu pihak dan melanggengkan
ketergantungan si miskin kepada mereka di lain pihak. Apa yang
dilakukan negara-negara kapitalis terkemuka kepada
negara-negara dunia ketiga belakangan ini memperlihatkan
dengan jelas skenario tadi.
Meski begitu, paradigma sekular-kapitalisme ini bukan tidak
punya daya tarik. Buat banyak orang yang gampang silau dengan
kekayaan dan (karena itu) kurang mau berpikir sedikit lebih
kritis, daya tarik itu terletak pada tercapainya tingkat
kemakmuran material dalam masyarakat yang sejak lama
menerapkan konsep kapitalisme secara seksama. Misalnya
Amerika, Jepang dan beberapa negara di Eropa Barat. Seperti
diketahui, tingkat pendapatan per kapita di negara-negara ini
memang yang tertinggi di antara semua negara lainnya. Akan
tetapi apabila kita lihat lebih teliti dan dalam perspektif
sosial yang lebih luas, akan segera terasa bahwa paradigma
sekular-kapitalisme ini tetap merupakan musuh keadilan yang
wajib diperangi, karena beberapa bukti. Pertama, di lingkup
masyarakat yang menerapkan konsep itu sendiri, ketimpangan
sosial antara golongan kaya dan yang miskin cenderung semakin
tajam. [10] Bahkan lebih tajam dibanding yang terjadi di
kalangan masyarakat lain yang tidak menerapkannya. Kedua,
apabila jumlah orang miskin di lingkungan masyarakat kapitalis
yang kaya raya bisa diperkecil, hal itu sebenarnya terjadi
atas biaya kemiskinan masyarakat bangsa-bangsa lain yang masuk
dalam jaringan dan perangkapnya. [11] Proses globalisasi
ekonomi yang kini tengah terjadi, pada hakikatnya adalah
momentum besar bagi kekuatan kapitalis untuk memperluas
jaringan dan perangkapnya tadi.
Tidak kalah mendasar dari keberatan-keberatan tadi adalah yang
berkaitan dengan pandangan kemanusiaan dari teori
sekular-kapitalisme itu sendiri. Dengan menjunjung tinggi
kebebasan individu untuk meraih kebahagiaan
setinggi-tingginya, kedengarannya paradigma kapitalisme sangat
manusiawi dan sejalan dengan misi universal agama-agama. Akan
tetapi, karena apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dalam
slogan itu, sesuai iman sekularitisnya, adalah kebahagiaan
duniawi, maka yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat
penganut paham ini adalah jaminan bahwa dukungan bagi setiap
orang untuk mengumbar nafsu ketamakan dan kerakusannya; suatu
masyarakat yang dalam al-Qur'an dilukiskan sebagai "masyarakat
yang selalu berdaya upaya untuk menghimpun kekayaan
sebanyak-banyaknya karena mengira kekayaan itulah yang bakal
menjamin kelangsungan hidupnya" (QS al-Lumazah: 2-3). Dan
untuk itu dukungan bukan saja diberikan oleh sistem politik
dan ekonomi, tetapi juga oleh sistem budaya, keilmuan, dan
juga agama.
Sementara itu, semua orang tahu bahwa obyek ketamakan dan
kerakusan kapitalistik ini adalah sumberdaya alam yang
terbatas persediaannya; sumberdaya alam yang tidak bakal
memuaskan hawa nafsu setiap orang yang memujanya. Oleh sebab
itu dari masyarakat penganut paham sekular-kapitalistis ini
akan selalu disaksikan - dan semua kita kini telah menyaksikan
- sikap dan tingkah laku keras kepala mereka dalam meriskir
dua hal yang sangat berbahaya, bukan saja bagi moralitas
keadilan tapi juga bagi kelangsungan hidup umat manusia itu
sendiri secara keseluruhan. Yakni, pertama adalah derita
kesengsaraan orang-orang yang kalah dan terlempar dalam
menghadapi kerakusan mereka; dan kedua eksploitasi gila-gilaan
atas kekayaan alam yang dapat mengancam daya tahan dan
keselamatannya. [l2]
Memang, kepada kita sering dipertontonkan sikap iba mereka
melihat bumi yang terus diperkosa dan melihat orang-orang
kalah yang semakin tak berdaya. Berbagai aksi karitas untuk
melindungi kekayaan alam berupa flora maupun fauna di satu
pihak, dan berbagai uluran tangan kedermawanan untuk
negara-negara miskin yang menderita kelaparan atau musibah
bencana alam di pihak lain, memperlihatkan dengan mencolok
sikap iba dari mereka. Akan tetapi, sangat boleh jadi semuanya
itu hanya tipu muslihat untuk menina-bobokkan orang-orang yang
tidak waspada. Buktinya, begitu mereka didesak untuk mengubah
tata kehidupan (ekonomi dan politik, terutama), dengan mana
kelestarian bumi manusia dan orang-orang yang kalah (umumnya
di dunia ketiga) bisa dilindungi secara struktural, tanpa
pikir panjang hati dan mulut mereka segera menyatakan
penolakannya. Jalan buntu yang terjadi dalam berbagai
perundingan Utara-Selatan dan perundingan global lainnya
mengenai kedua hal tersebut merupakan bukti nyata atas sikap
dasar penganut paradigma sekular-kapitalisme ini.
Selanjutnya yang ketiga adalah pendekatan
materialisme-komunis. Sebagai antitesis terhadap pendekatan
pertama dan kedua, pendirian dasar dari pendekatan ketiga ini
adalah bahwa kemiskinan bisa diatasi, dan harus diatasi, bukan
oleh Tuhan atau oleh belas kasih orang kaya, melainkan oleh
orang-orang miskin itu sendiri. Terhadap kedua pendekatan
tersebut pertama, pendekatan ketiga menuduh mereka sebagai
sama-sama telah meninabobokkan golongan miskin untuk menuntut
hak-haknya yang terampas dari tangan golongan kaya. Bedanya,
pendekatan pertama (pasivisme-religius), meninabobokkan kaum
miskin, dengan janji-janji sorganya. Pendekatan kedua
(sekular-kapitalisme), menina-bobokkan orang miskin dengan
trik-trik karitas gaya sinterklasnya.
Pada level individual pendekatan ketiga diaktualisasikan,
antara lain, melalui aksi ala Robin Hood dengan mengambil
kembali hak-hak material miskin dari tangan orang-orang kaya
secara paksa. Dalam Islam, sejauh aksi sepihak itu dilakukan
sebagai penyelesaian darurat oleh orang yang benar-benar
terpepet, secara relatif bisa dipahami. "Al-darurat-u tubih-u
'l-mahdhurat - Keterpepetan yang sangat dapat membolehkan yang
semula dilarang"; dan "al-masyaqqat-u tajlib-u 'l-taisir -
Kesengsaraan bisa membuka keringanan".
Pernah suatu ketika, beberapa budak milik Hathib bin Abi
Balta'ah mencuri seekor unta kepunyaan tetangga, dan
menyembelihnya. Menerima pengaduan, Umar bin Khattab r.a.
tidak segera menjatuhkan hukuman melainkan lebih dahulu
bertanya kepada budak-budak itu tentang sebab-musabab mengapa
sampai mencuri. Ternyata mereka benar-benar terpepet untuk
mengisi perut karena ditelantarkan oleh majikannya. Umar yang
khalifat benar-benar marah. Hathib segera dipanggil dan
dipaksanya untuk mengganti unta yang dicuri budak-budaknya.
Sementara budak-budak itu sendiri ia bebaskan dari segala
tuntutan. [13]
Pada level kolektif, penclekatan ketiga yang komunistis ini
diaktualisir secara besar-besaran dan penuh kedengkian melalui
perjuangan politik berskala massif. Di Indonesia, hal itu
pernah terjadi, ketika awal tahun, 60-an sejumlah petani yang
tergabung dalam Barisan Tani Indonesia (BTI) secara sepihak
mengkapling tanah ladang atau sawah milik orang-orang kaya di
desanya. Memang, diantara semua sistem sosial modern yang ada,
komunisme patut memperoleh pujian sebagai yang paling lantang
menyuarakan kepentingan orang-orang yang tidak punya. Dan
kalau kita mau jujur, pesan moral setiap agama ketuhanan
memang begitu adanya atau bahkan lebih. Akan tetapi karena
cacat mendasar pada akidah (filosofi) maupun syari'ah
(kerangka institusional)-nya, komunisme pun gagal dan patut
digagalkan. Cacat akidah, terletak pada pandangannya terhadap
hakikat manusia sebagai tidak lebih dari fenomena material
belaka. Suatu pandangan kemanusiaan yang menurut kisah
kejadian diintrodusir pertama kali oleh tokoh antagonis yang
bernama Iblis. Dalam percakapannya dengan Tuhan, Iblis pernah
menyatakan pandangannya tentang manusia sebagai makhluk yang
tercipta hanya dari tanah liat. [14] Hakikat manusia sebagai
ruh yang memiliki persambungan transendental dengan Tuhan,
diingkarinya. Karuan saja, konsepsi keadilan manusiawi yang
ditawarkan oleh pandangan kemanusiaan madzhab ini menjadi
begitu naif. Konsep keadilan yang sebenarnya sangat sublim,
diredusir sedemikian rupa menjadi hanya terbatas pada aspek
ekonomi dengan pengertian kesamarataan hak-hak materi. Mereka
mengira bahwa hanya dengan terpenuhinya kebutuhan materi,
sempurna sudah semua cita-cita hidup manusia.
Pada level syari'at (pelembagaan)-nya, kenaifan mereka lebih
kentara lagi. Meskipun selalu berangkat dari klaim kepentingan
rakyat kecil, kaum proletar, akan tetapi apa yang diperbuat
oleh komunisme sebagai sistem sosial dan politik tidak lain
adalah pemancangan secara paksa dominasi segelintir orang yang
berkuasa atas mayoritas rakyat yang tidak berdaya - atau
sengaja dibikin tidak berdaya. Atas nama kepentingan kaum
miskin, elite penguasa mengklaim kewenangan yang haram
dibantah. Akibatnya, harga kemanusiaan (human dignity) sebagai
makhluk moral dan spiritual dinistakannya samasekali.
Kebebasan berpikir dan berkeyakinan, sebagai prasyarat mutlak
bagi aktualisasi hakikat kemanusiaan yang ruhani, dianggap
absurd. Maka, meskipun kesenjangan ekonomi di negara komunis
relatif lebih terjembatani, dibanding di negeri-negeri lain
yang menganut pendekatan pasivisme-religius dan
sekular-kapitalisme, akan tetapi kesenjangan di bidang
non-ekonomi, sangatlah lebar. Di sana hanya segelintir orang
memiliki kebebasan berbicara dan berpendapat, sementara
mayoritas yang sangat besar hampir-hampir tidak mengenalnya
samasekali.
KEKAYAAN MATERI: SISI PANDANGAN ISLAM
Berpijak pada kodratnya sebagai ajaran keruhanian,
berkali-kali Islam menegaskan bahwa realitas kebendaan,
bagaimanapun, merupakan realitas yang terendah, dan kesadaran
kebendaan juga kesadaran yang terendah. Kata-kata al-dunya,
yang digunakan al-Qur'an untuk menunjuk realitas kebendaan itu
sendiri, secara harfiyah artinya adalah rendah. Namun
demikian, dunia kebendaan yang rendah itu bukan tidak punya
fungsi dalam keseluruhan misinya. Justru dalam pergumulan
dengan dan dalam hal-hal material kebendaan itulah manusia
ditempa (diuji al-Qur'an) oleh Tuhan apakah ia berhasil
memenuhi perannya sebagai khalifah di muka bumi. Maka,
dibanding ajaran keruhanian lainnya, dalam hal kebendaan ini,
Islam begitu terbuka. Sikap berpantang terhadap hal-hal
duniawi tidak pernah memperoleh rekomendasi yang
menggembirakan dari ajaran Islam. Apalagi jika sampai membawa
risiko penyiksaan terhadap diri sendiri. [15]
-------------------------------------------- (bersambung 5/8)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Oleh Masdar F. Mas'udi
Memang harus tetap diakui, pendekatan pasivisme keagamaan ini
bukan tidak punya keprihatinan atas kemiskinan sebagai derita
kehidupan. Akan tetapi, sekali lagi karena bagi mereka
kemiskinan terjadi karena takdir Tuhan, dan oleh sebab itu
harus diterima dengan segala kepasipan, maka apa yang mereka
lakukan terhadap persoalan itu cukup sederhana: Beri
orang-orang miskin santunan; berupa makanan, pakaian, uang
atau lainnya. Suatu treatment yang benar-benar bersifat
formalistis dan karitatif; semata-mata menuruti perintah
ajaran untuk meringankan beban orang miskin. Tidak pernah jadi
pemikiran mereka, apakah dengan santunan itu si miskin bisa
mengentaskan diri dari derita kemiskinannya. Bagi mereka,
itulah urusan Tuhan: Jika dikehendaki, seketika ia bisa kaya
raya. Tapi jika tidak, usaha apa pun yang dilakukan manusia,
kemiskinan tetap menimpanya.
Menyusul pendekatan pasivisme-religious adalah pendekatan
sekularisme-kapitalis. Apabila pendekatan pertama mengatakan
kemiskinan merupakan urusan Tuhan, pendekatan kedua
mengatakan, seperti halnya persoalan hidup lainnya, kemiskinan
pun merupakan persoalan manusia. Kalau mau dan tahu jalannya,
manusia bisa mengatasinya, dengan kekuatan sendiri. Tuhan
tidak punya urusan dengan soal-soal seperti ini. Hanya, yang
menjadi persoalan mereka, apakah memang perlu kemiskinan itu
diatasi? Bertolak dari pendirian segala sesuatu kemiliki
kegunaan (fungsi)-nya sendiri bagi tertib kehidupan,
pendekatan kedua berpendapat, kemiskinan tidak boleh
ditiadakan. Membiarkan kemiskinan yang 'keterlaluan' memang
tidak bijaksana, akan tetapi melenyapkannya juga bisa
berbahaya. Oleh sebab itu yang penting bukan mengatasi
kemiskinan, melainkan mengendalikannya agar tidak sampai
merusak tatanan. [9]
Mengemban bias kalangan kaya, penganut paham ini memandang
kemiskinan sepenuhnya terjadi atas kesalahan atau kekurangan
yang ada pada diri orang-orang miskin itu sendiri. Yaitu,
karena mereka tidak memiliki sifat-sifat pribadi yang lazim
dimiliki oleh teman-temannya yang kaya. Misalnya: keuletan
mencari duit, gemar menabung, jeli melihat kesempatan usaha,
keterampilan berwiraswasta, dan sebagainya. Oleh sebab itu,
satu-satunya jalan untuk memperbaiki nasib si miskin, jika
dianggap perlu, adalah pendidikan sebagai upaya pengembangan
sumberdaya untuk menanamkan sifat-sifat tersebut pada diri
pribadi orang-orang miskin. Kemiskinan adalah suatu fenomena
yang berskala perorangan, dan karena itu harus didekati juga
dalam skala perorangan. Realitas sosio-struktural, di mana
orang-orang kaya dan kalangan mapan lainnya menyandarkan
kepentingannya, tidak ada sangkut paut apa pun dengan masalah
kemiskinan.
Sementara itu mempersiapkan orang miskin menjadi berpotensi
kaya -dengan strategi pendidikan- memerlukan modal yang tidak
sedikit. Untuk pendidikan perlu banyak sarana dan prasarana
yang tidak murah. Sesudah pendidikan modal usaha juga harus
disediakan. Artinya, bahwa program memecahkan kemiskinan, pada
ujungnya bukan sesuatu yang bisa dilakukan oleh masyarakat
miskin itu sendiri, tapi oleh orang-orang kaya juga. Dengan
demikian, usaha mengatasi kemiskinan, menurut teori ini, akan
selalu ditunggangi oleh kepentingan pihak kaya dalam
mempertahankan kekayaannya di satu pihak dan melanggengkan
ketergantungan si miskin kepada mereka di lain pihak. Apa yang
dilakukan negara-negara kapitalis terkemuka kepada
negara-negara dunia ketiga belakangan ini memperlihatkan
dengan jelas skenario tadi.
Meski begitu, paradigma sekular-kapitalisme ini bukan tidak
punya daya tarik. Buat banyak orang yang gampang silau dengan
kekayaan dan (karena itu) kurang mau berpikir sedikit lebih
kritis, daya tarik itu terletak pada tercapainya tingkat
kemakmuran material dalam masyarakat yang sejak lama
menerapkan konsep kapitalisme secara seksama. Misalnya
Amerika, Jepang dan beberapa negara di Eropa Barat. Seperti
diketahui, tingkat pendapatan per kapita di negara-negara ini
memang yang tertinggi di antara semua negara lainnya. Akan
tetapi apabila kita lihat lebih teliti dan dalam perspektif
sosial yang lebih luas, akan segera terasa bahwa paradigma
sekular-kapitalisme ini tetap merupakan musuh keadilan yang
wajib diperangi, karena beberapa bukti. Pertama, di lingkup
masyarakat yang menerapkan konsep itu sendiri, ketimpangan
sosial antara golongan kaya dan yang miskin cenderung semakin
tajam. [10] Bahkan lebih tajam dibanding yang terjadi di
kalangan masyarakat lain yang tidak menerapkannya. Kedua,
apabila jumlah orang miskin di lingkungan masyarakat kapitalis
yang kaya raya bisa diperkecil, hal itu sebenarnya terjadi
atas biaya kemiskinan masyarakat bangsa-bangsa lain yang masuk
dalam jaringan dan perangkapnya. [11] Proses globalisasi
ekonomi yang kini tengah terjadi, pada hakikatnya adalah
momentum besar bagi kekuatan kapitalis untuk memperluas
jaringan dan perangkapnya tadi.
Tidak kalah mendasar dari keberatan-keberatan tadi adalah yang
berkaitan dengan pandangan kemanusiaan dari teori
sekular-kapitalisme itu sendiri. Dengan menjunjung tinggi
kebebasan individu untuk meraih kebahagiaan
setinggi-tingginya, kedengarannya paradigma kapitalisme sangat
manusiawi dan sejalan dengan misi universal agama-agama. Akan
tetapi, karena apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dalam
slogan itu, sesuai iman sekularitisnya, adalah kebahagiaan
duniawi, maka yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat
penganut paham ini adalah jaminan bahwa dukungan bagi setiap
orang untuk mengumbar nafsu ketamakan dan kerakusannya; suatu
masyarakat yang dalam al-Qur'an dilukiskan sebagai "masyarakat
yang selalu berdaya upaya untuk menghimpun kekayaan
sebanyak-banyaknya karena mengira kekayaan itulah yang bakal
menjamin kelangsungan hidupnya" (QS al-Lumazah: 2-3). Dan
untuk itu dukungan bukan saja diberikan oleh sistem politik
dan ekonomi, tetapi juga oleh sistem budaya, keilmuan, dan
juga agama.
Sementara itu, semua orang tahu bahwa obyek ketamakan dan
kerakusan kapitalistik ini adalah sumberdaya alam yang
terbatas persediaannya; sumberdaya alam yang tidak bakal
memuaskan hawa nafsu setiap orang yang memujanya. Oleh sebab
itu dari masyarakat penganut paham sekular-kapitalistis ini
akan selalu disaksikan - dan semua kita kini telah menyaksikan
- sikap dan tingkah laku keras kepala mereka dalam meriskir
dua hal yang sangat berbahaya, bukan saja bagi moralitas
keadilan tapi juga bagi kelangsungan hidup umat manusia itu
sendiri secara keseluruhan. Yakni, pertama adalah derita
kesengsaraan orang-orang yang kalah dan terlempar dalam
menghadapi kerakusan mereka; dan kedua eksploitasi gila-gilaan
atas kekayaan alam yang dapat mengancam daya tahan dan
keselamatannya. [l2]
Memang, kepada kita sering dipertontonkan sikap iba mereka
melihat bumi yang terus diperkosa dan melihat orang-orang
kalah yang semakin tak berdaya. Berbagai aksi karitas untuk
melindungi kekayaan alam berupa flora maupun fauna di satu
pihak, dan berbagai uluran tangan kedermawanan untuk
negara-negara miskin yang menderita kelaparan atau musibah
bencana alam di pihak lain, memperlihatkan dengan mencolok
sikap iba dari mereka. Akan tetapi, sangat boleh jadi semuanya
itu hanya tipu muslihat untuk menina-bobokkan orang-orang yang
tidak waspada. Buktinya, begitu mereka didesak untuk mengubah
tata kehidupan (ekonomi dan politik, terutama), dengan mana
kelestarian bumi manusia dan orang-orang yang kalah (umumnya
di dunia ketiga) bisa dilindungi secara struktural, tanpa
pikir panjang hati dan mulut mereka segera menyatakan
penolakannya. Jalan buntu yang terjadi dalam berbagai
perundingan Utara-Selatan dan perundingan global lainnya
mengenai kedua hal tersebut merupakan bukti nyata atas sikap
dasar penganut paradigma sekular-kapitalisme ini.
Selanjutnya yang ketiga adalah pendekatan
materialisme-komunis. Sebagai antitesis terhadap pendekatan
pertama dan kedua, pendirian dasar dari pendekatan ketiga ini
adalah bahwa kemiskinan bisa diatasi, dan harus diatasi, bukan
oleh Tuhan atau oleh belas kasih orang kaya, melainkan oleh
orang-orang miskin itu sendiri. Terhadap kedua pendekatan
tersebut pertama, pendekatan ketiga menuduh mereka sebagai
sama-sama telah meninabobokkan golongan miskin untuk menuntut
hak-haknya yang terampas dari tangan golongan kaya. Bedanya,
pendekatan pertama (pasivisme-religius), meninabobokkan kaum
miskin, dengan janji-janji sorganya. Pendekatan kedua
(sekular-kapitalisme), menina-bobokkan orang miskin dengan
trik-trik karitas gaya sinterklasnya.
Pada level individual pendekatan ketiga diaktualisasikan,
antara lain, melalui aksi ala Robin Hood dengan mengambil
kembali hak-hak material miskin dari tangan orang-orang kaya
secara paksa. Dalam Islam, sejauh aksi sepihak itu dilakukan
sebagai penyelesaian darurat oleh orang yang benar-benar
terpepet, secara relatif bisa dipahami. "Al-darurat-u tubih-u
'l-mahdhurat - Keterpepetan yang sangat dapat membolehkan yang
semula dilarang"; dan "al-masyaqqat-u tajlib-u 'l-taisir -
Kesengsaraan bisa membuka keringanan".
Pernah suatu ketika, beberapa budak milik Hathib bin Abi
Balta'ah mencuri seekor unta kepunyaan tetangga, dan
menyembelihnya. Menerima pengaduan, Umar bin Khattab r.a.
tidak segera menjatuhkan hukuman melainkan lebih dahulu
bertanya kepada budak-budak itu tentang sebab-musabab mengapa
sampai mencuri. Ternyata mereka benar-benar terpepet untuk
mengisi perut karena ditelantarkan oleh majikannya. Umar yang
khalifat benar-benar marah. Hathib segera dipanggil dan
dipaksanya untuk mengganti unta yang dicuri budak-budaknya.
Sementara budak-budak itu sendiri ia bebaskan dari segala
tuntutan. [13]
Pada level kolektif, penclekatan ketiga yang komunistis ini
diaktualisir secara besar-besaran dan penuh kedengkian melalui
perjuangan politik berskala massif. Di Indonesia, hal itu
pernah terjadi, ketika awal tahun, 60-an sejumlah petani yang
tergabung dalam Barisan Tani Indonesia (BTI) secara sepihak
mengkapling tanah ladang atau sawah milik orang-orang kaya di
desanya. Memang, diantara semua sistem sosial modern yang ada,
komunisme patut memperoleh pujian sebagai yang paling lantang
menyuarakan kepentingan orang-orang yang tidak punya. Dan
kalau kita mau jujur, pesan moral setiap agama ketuhanan
memang begitu adanya atau bahkan lebih. Akan tetapi karena
cacat mendasar pada akidah (filosofi) maupun syari'ah
(kerangka institusional)-nya, komunisme pun gagal dan patut
digagalkan. Cacat akidah, terletak pada pandangannya terhadap
hakikat manusia sebagai tidak lebih dari fenomena material
belaka. Suatu pandangan kemanusiaan yang menurut kisah
kejadian diintrodusir pertama kali oleh tokoh antagonis yang
bernama Iblis. Dalam percakapannya dengan Tuhan, Iblis pernah
menyatakan pandangannya tentang manusia sebagai makhluk yang
tercipta hanya dari tanah liat. [14] Hakikat manusia sebagai
ruh yang memiliki persambungan transendental dengan Tuhan,
diingkarinya. Karuan saja, konsepsi keadilan manusiawi yang
ditawarkan oleh pandangan kemanusiaan madzhab ini menjadi
begitu naif. Konsep keadilan yang sebenarnya sangat sublim,
diredusir sedemikian rupa menjadi hanya terbatas pada aspek
ekonomi dengan pengertian kesamarataan hak-hak materi. Mereka
mengira bahwa hanya dengan terpenuhinya kebutuhan materi,
sempurna sudah semua cita-cita hidup manusia.
Pada level syari'at (pelembagaan)-nya, kenaifan mereka lebih
kentara lagi. Meskipun selalu berangkat dari klaim kepentingan
rakyat kecil, kaum proletar, akan tetapi apa yang diperbuat
oleh komunisme sebagai sistem sosial dan politik tidak lain
adalah pemancangan secara paksa dominasi segelintir orang yang
berkuasa atas mayoritas rakyat yang tidak berdaya - atau
sengaja dibikin tidak berdaya. Atas nama kepentingan kaum
miskin, elite penguasa mengklaim kewenangan yang haram
dibantah. Akibatnya, harga kemanusiaan (human dignity) sebagai
makhluk moral dan spiritual dinistakannya samasekali.
Kebebasan berpikir dan berkeyakinan, sebagai prasyarat mutlak
bagi aktualisasi hakikat kemanusiaan yang ruhani, dianggap
absurd. Maka, meskipun kesenjangan ekonomi di negara komunis
relatif lebih terjembatani, dibanding di negeri-negeri lain
yang menganut pendekatan pasivisme-religius dan
sekular-kapitalisme, akan tetapi kesenjangan di bidang
non-ekonomi, sangatlah lebar. Di sana hanya segelintir orang
memiliki kebebasan berbicara dan berpendapat, sementara
mayoritas yang sangat besar hampir-hampir tidak mengenalnya
samasekali.
KEKAYAAN MATERI: SISI PANDANGAN ISLAM
Berpijak pada kodratnya sebagai ajaran keruhanian,
berkali-kali Islam menegaskan bahwa realitas kebendaan,
bagaimanapun, merupakan realitas yang terendah, dan kesadaran
kebendaan juga kesadaran yang terendah. Kata-kata al-dunya,
yang digunakan al-Qur'an untuk menunjuk realitas kebendaan itu
sendiri, secara harfiyah artinya adalah rendah. Namun
demikian, dunia kebendaan yang rendah itu bukan tidak punya
fungsi dalam keseluruhan misinya. Justru dalam pergumulan
dengan dan dalam hal-hal material kebendaan itulah manusia
ditempa (diuji al-Qur'an) oleh Tuhan apakah ia berhasil
memenuhi perannya sebagai khalifah di muka bumi. Maka,
dibanding ajaran keruhanian lainnya, dalam hal kebendaan ini,
Islam begitu terbuka. Sikap berpantang terhadap hal-hal
duniawi tidak pernah memperoleh rekomendasi yang
menggembirakan dari ajaran Islam. Apalagi jika sampai membawa
risiko penyiksaan terhadap diri sendiri. [15]
-------------------------------------------- (bersambung 5/8)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Komentar
Posting Komentar